sudah lebih dari sepuluh tahun aku memimpikan momen ini; melihat sosoknya dengan nyata. ---- lusa kemarin aku tak sengaja berpapasan dengan orang asing-yang sebenarnya tidak asing-karena dulu kami pernah tumbuh bersama di sekolah. teman kecilku, aku memanggilnya Rai. laki-laki yang pertama kali mengenalkanku dengan yang namanya jatuh hati. laki-laki yang suara tawanya mampu mengindahkan seluruh sisa hari. dan, laki-laki yang ketidakhadirannya selama satu dekade terakhir membuatku sengsara setengah mati. ---- aku sendirian, memandang sekitar, berkali-kali mengecek jam, tak sabar kapan teater selanjutnya dibuka. tepat ketika aku beranjak keluar dan mengarahkan kaki ke gramedia, seorang pria bersama perempuan di sampingnya masuk, lalu bergabung dengan antrian pembelian tiket. aku ternganga, seperkian detik, sekian menit. gila. itu Rai? ---- pikiranku pusing tak karuan akibat jutaan rindu yang kembali timbul, padahal sejak dulu sudah kutimbun dalam-dalam. rasanya usahaku selama satu dekade ini tiada guna. --- "Rai. Itu siapa?" bukan. bukan itu yang ingin aku tanyakan. aku tidak peduli dan tidak ingin tahu. "Rai. Bagaimana kabarmu? Studi kedokteranmu lancar?" pertanyaan klise dan tidak layak dilontarkan karena percuma, aku tahu dia sangat sehat dan baik-baik saja. wajahnya semakin tampan, tulang pipinya tegas, cara berjalannya, cara dia memandang sekitar, cara berpakaiannya, bodoh kalau aku sekedar bertanya kabar. --- Halo, Rai. Ini aku. Ingat, tidak? --- Pertanyaan itu, sepenuhnya aku serahkan kepada Tuhan. ---- aku hanya mematung memandangi Rai dan perempuan di sebelahnya. menimbang-nimbang sekian kemungkinan; menyapa lalu mendapat jawaban tak mengenakkan; menyapa lalu menjadikan ini salah satu malam terbaik dalam hidup; tidak menyapa dan terjauh dari resiko patah hati; atau tidak menyapa namun menyesal di kemudian hari. ---- aku linglung. aku benar-benar rindu padanya. jika aku punya remote penghenti waktu, akan aku hentikan semampuku, selama mungkin. Tuhan, aku benar-benar rindu. dadaku bergemuruh. aku mulai berkeringat dingin. bahagia dan sedih bercampur, aku benar-benar tak menyangka saat-saat seperti ini akan dihadirkan Tuhan. walaupun akhirnya aku bingung sendiri, tak tahu apa yang harus aku lakukan. mataku berair. tak sadar, aku mulai sesenggukan. gila. sebegitu rindunya aku pada Rai. sebelum gunungan air di pelupuk mataku tumpah, aku secepat mungkin menuju toilet. masuk ke sebuah bilik, aku sesenggukan sejadinya, mati-matian menahan sesak di dada. setelah rasanya sepi, aku keluar, mengusap wajah dengan setangkup air dari wastafel, mengipas-ngipasi mata agar tak berair kembali, dan menatap cermin lamat-lamat, menata senyum agar tak terlihat murung. --- perempuan itu. perempuan yang tadi bersama Rai tiba-tiba berada di sebelahku. --- "Rai?" sapaku berusaha senormal mungkin, kepada dia yang berdiri tak jauh dari toilet, nampaknya menunggu perempuan tadi. "Eh?" jawabnya. sudah kuduga. "Tesa. kita dulu teman TK, satu SD juga," rasanya aku ingin segera pergi. aku tak mau mendengar apapun yang terlontar darinya. "Tesa?" "Aduh, Tesa. maaf aku lupa," dan di detik itu, aku tahu, dilupakan seseorang yang kamu cintai selama lebih dari sepuluh tahun ternyata tidak se-menyakitkan itu. aku memang berharap, namun aku tak pernah memungkiri, bahwa kemungkinan seperti ini lah yang berpeluang lebih besar untuk terjadi. "Hahaha. ya sudah gapapa. aku keluar dulu ya. have a nice weekend," ---- semudah itu. sesederhana itu. tak indah, pun tak seburuk, tak sesakit yang aku bayangkan. ---- menerima dan mencoba menghadapi kenyataan kadang tampak sangat mustahil untuk dilakukan. namun kala momen-momen itu telah dilewati, terbesit rasa lega dan malu sendiri; karena, ternyata nggak seburuk itu.